Tidak dapat dipungkiri sudah sejak lama keriuhan isu di Papua tidak pernah bisa bersih dari cara-cara yang gemar mengeksploitasi manusia ketika bertarung untuk menaikan isu yang ada. Jangankan terhadap kesadaran yang awam, bahkan kaum yang sudah menegerti pun bisa tersungkur dalam cara berpikir-bertindak yang tidak sehat. Bahkan jika kita perluas, dalam lingkup kebudayaan, kegemaran mengeksploitasi media dan berita atau isu HAM demi kepuasan terhadap kepuasan kekuasaan yang akan di capai. Indonesia, salah contoh Negara yang mudah sekali ditemukan provokasi primordial yang sesungguhnya mencemaskan. di daerah-daerah yang ada di Indonesia khususnya di Papua juga sangat sering bahkan mudah sekali mendengar provokasi yang malah di ciptakan dari luar Indonesia. di Papua yang konon memiliki tingkat homogenitas sosial tinggi.
Ironisnya kita sebagai makhluk berpendidikan masih saja di bodohi dengan berbagai isu provokasi yang hanya menimbulkan berbagai konflik sosial antara sesama mahluk ciptaan Tuhan.
Cara pandang yang sering dilupakan ketika provokasi berkembang makin liar lantas bergulung seperti bola salju dan hanya berhenti di ujung putaran atau menghantam benda yang lebih keras dari dirinya. Provokasi yang berhenti ketika segalanya sudah remuk berantakan.
Ada cara pandang atau sikap untuk menanggapi provokasi seperti ini.
Seperti melihatnya dengan pandangan kita diibaratkan sebagai anak-anak. Mengutip Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer yang pernah bilang kita tidak sempurna menjadi orang dewasa jika tidak pernah menemukan (lagi) kesungguhan anak-anak dalam bermain. Kita tahu bersama, bahkan pernah mengalaminya, dunia anak adalah dunia yang tumbuh memelihara dirinya dalam perjumpaan langsung yang masih tanpa kategori, tanpa prasangka, tanpa kecurigaan negatif dan tanpa sikap merasa paling benar. Anak-anak belum memiliki definisi dirinya berbeda dalam perjumpaan tersebut. Bahkan situasi perjumpaan disambutinya dengan antusiasme yang asik dan bergembira dalam bermain bersama. Benar bahwa dunia anak adalah dunia bercermin (mirror fase). Karenanya rangkaian peran juga bahasa yang digunakan mereka dalam berinteraksi cenderung mengutip manusia dewasa. Dalam proses ini, dunia anak memang mudah sekali menjadi pertunjukan tiruan, sesuatu yang memang sering terjadi dalam fase internalisasi.
Sebagai orang dewasa yang pernah menjalani dunia anak, yang menjadi relevan dalam kebutuhan menantang provokasi primordial dalam politik adalah kemampuan mengelola ketegangan antara dunia anak yang masih tanpa kategori tadi dan laku peniruan atas orang dewasa agar tidak jatuh pada salah satu ekstrim. Menjadi sepenuh tanpa kategori dalam cara pandang terhadap perbedaan adalah ketidakmungkinan yang niscaya. Demikian juga, terkurung dalam laku peniruan terus menerus adalah kegagalan yang dungu. Secara praktis, dari pengalaman dunia anak, yang bisa kita rumuskan dalam menghadapi provokasi.
Kembali lagi pada isu provokasi yang selalu di suarakan atau dikoarkan oleh para pelaku politik yang ada di Papua, dengan memanfaatkan suatu kejadian atau memutar balikkan cerita miring tentang isu yang beredar. Kembali lagi kita harus memperhatikan para pemuda kita terutama pemuda, generasi Papua muda harus belajar kembali sejarah lokal Papua agar tahu bahwa persoalan Papua sudah selesai dan generasi muda harus mengetahui sejarah perjuangan masyarakat Papua saat bergabung dengan NKRI.
sejarah mencatat bahwa beberapa pahlawan asli Papua seperti Silas Papare, Frans Kaisepo dan Marthen Indey, Mempunyai peranan penting dalam sejarah perjuangan masuknya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi. Bergabungnya Papua ke NKRI sudah final dan telah tercatat dalam titah Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) serta telah diakui dunia bahwa Papua adalah bagian NKRI. Bahkan sampai hari ini resolusi dewan keamanan PBB belum di cabut.
Terus bagaimana dengan orang-orang yang katanya memperjuangkan Papua di dunia Internasional?
Sudah jelas jika organisasi seperti KNPB atau orang-orang seperti Benny Wenda yang menyerukan berbagai isu provokasi yang mnyudutkan pemerintah, sepertinya mereka harus kembali membuka buku sejarah untuk merefresh kembali otak mereka yang sudah dikotori dengan nafsu kekuasaan dunia.
Belum lagi para elite negara tetangga seperti perdana mentri Vanuwatu dan negara-negara yang memanfaatkan kesamaan RAS untuk menggait dan memprovokasi rakyat agar mengikuti nafsu kekuasaan Individual mereka masing-masing. negara-negara miskin ini memanfaatkan lobang kecil untuk meraih keuntungan demi majunya Negara mereka yang sebenarnya berada pada posisi Negara-Negara miskin di Dunia, kenapa musti menyibukkan diri dengan mengurus ketentraman Negara lain sedangkan Negara mereka belum sepenuhnya baik.
Ada juga para tokoh agama yang memanfaatkan media Agama, yang sebenarnya meruapakan tempat unutk bersandar dan memohon ampun kepada sang pencipta, akan tetapi justru agama di buat dan dirangkai sedemikian rupa agar bisa meluruskan nafsu kekuasaan.
Dari kesimpulan diatas saya rasa, menyambung dengan era benturan yang penuh dengan provokasi. So, dalam provokasi yang liar atau kompetisi yang sakit, jangan mengorbankan kemuliaan nalar yang merupakan anugrah terbaik penciptaan dihina oleh ilusi-ilusi melalui provokasi. Kembali belajar pada dunia anak dan berani memberi jarak/tanda kurung atas segala macam provokasi yang mengancam kemajemukan hidup manusia mungkin bisa menjaga diri kita sendiri.
Ironisnya kita sebagai makhluk berpendidikan masih saja di bodohi dengan berbagai isu provokasi yang hanya menimbulkan berbagai konflik sosial antara sesama mahluk ciptaan Tuhan.
Cara pandang yang sering dilupakan ketika provokasi berkembang makin liar lantas bergulung seperti bola salju dan hanya berhenti di ujung putaran atau menghantam benda yang lebih keras dari dirinya. Provokasi yang berhenti ketika segalanya sudah remuk berantakan.
Ada cara pandang atau sikap untuk menanggapi provokasi seperti ini.
Seperti melihatnya dengan pandangan kita diibaratkan sebagai anak-anak. Mengutip Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer yang pernah bilang kita tidak sempurna menjadi orang dewasa jika tidak pernah menemukan (lagi) kesungguhan anak-anak dalam bermain. Kita tahu bersama, bahkan pernah mengalaminya, dunia anak adalah dunia yang tumbuh memelihara dirinya dalam perjumpaan langsung yang masih tanpa kategori, tanpa prasangka, tanpa kecurigaan negatif dan tanpa sikap merasa paling benar. Anak-anak belum memiliki definisi dirinya berbeda dalam perjumpaan tersebut. Bahkan situasi perjumpaan disambutinya dengan antusiasme yang asik dan bergembira dalam bermain bersama. Benar bahwa dunia anak adalah dunia bercermin (mirror fase). Karenanya rangkaian peran juga bahasa yang digunakan mereka dalam berinteraksi cenderung mengutip manusia dewasa. Dalam proses ini, dunia anak memang mudah sekali menjadi pertunjukan tiruan, sesuatu yang memang sering terjadi dalam fase internalisasi.
Sebagai orang dewasa yang pernah menjalani dunia anak, yang menjadi relevan dalam kebutuhan menantang provokasi primordial dalam politik adalah kemampuan mengelola ketegangan antara dunia anak yang masih tanpa kategori tadi dan laku peniruan atas orang dewasa agar tidak jatuh pada salah satu ekstrim. Menjadi sepenuh tanpa kategori dalam cara pandang terhadap perbedaan adalah ketidakmungkinan yang niscaya. Demikian juga, terkurung dalam laku peniruan terus menerus adalah kegagalan yang dungu. Secara praktis, dari pengalaman dunia anak, yang bisa kita rumuskan dalam menghadapi provokasi.
Kembali lagi pada isu provokasi yang selalu di suarakan atau dikoarkan oleh para pelaku politik yang ada di Papua, dengan memanfaatkan suatu kejadian atau memutar balikkan cerita miring tentang isu yang beredar. Kembali lagi kita harus memperhatikan para pemuda kita terutama pemuda, generasi Papua muda harus belajar kembali sejarah lokal Papua agar tahu bahwa persoalan Papua sudah selesai dan generasi muda harus mengetahui sejarah perjuangan masyarakat Papua saat bergabung dengan NKRI.
sejarah mencatat bahwa beberapa pahlawan asli Papua seperti Silas Papare, Frans Kaisepo dan Marthen Indey, Mempunyai peranan penting dalam sejarah perjuangan masuknya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi. Bergabungnya Papua ke NKRI sudah final dan telah tercatat dalam titah Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) serta telah diakui dunia bahwa Papua adalah bagian NKRI. Bahkan sampai hari ini resolusi dewan keamanan PBB belum di cabut.
Terus bagaimana dengan orang-orang yang katanya memperjuangkan Papua di dunia Internasional?
Sudah jelas jika organisasi seperti KNPB atau orang-orang seperti Benny Wenda yang menyerukan berbagai isu provokasi yang mnyudutkan pemerintah, sepertinya mereka harus kembali membuka buku sejarah untuk merefresh kembali otak mereka yang sudah dikotori dengan nafsu kekuasaan dunia.
Belum lagi para elite negara tetangga seperti perdana mentri Vanuwatu dan negara-negara yang memanfaatkan kesamaan RAS untuk menggait dan memprovokasi rakyat agar mengikuti nafsu kekuasaan Individual mereka masing-masing. negara-negara miskin ini memanfaatkan lobang kecil untuk meraih keuntungan demi majunya Negara mereka yang sebenarnya berada pada posisi Negara-Negara miskin di Dunia, kenapa musti menyibukkan diri dengan mengurus ketentraman Negara lain sedangkan Negara mereka belum sepenuhnya baik.
Ada juga para tokoh agama yang memanfaatkan media Agama, yang sebenarnya meruapakan tempat unutk bersandar dan memohon ampun kepada sang pencipta, akan tetapi justru agama di buat dan dirangkai sedemikian rupa agar bisa meluruskan nafsu kekuasaan.
Dari kesimpulan diatas saya rasa, menyambung dengan era benturan yang penuh dengan provokasi. So, dalam provokasi yang liar atau kompetisi yang sakit, jangan mengorbankan kemuliaan nalar yang merupakan anugrah terbaik penciptaan dihina oleh ilusi-ilusi melalui provokasi. Kembali belajar pada dunia anak dan berani memberi jarak/tanda kurung atas segala macam provokasi yang mengancam kemajemukan hidup manusia mungkin bisa menjaga diri kita sendiri.