Pembahasan mengenai gagal masuknya RUU Otsus Plus dalam Prolegnas 2015 masih menjadi topik pembicaraan hangat di Papua. Salah pemahaman bahwa pemerintah pusat menolak RUU Otsus Plus masih beredar, terkait kesalah pahaman ini, Inisiator Ikatan Cendikiawan Muda Papua, Marthinus Werimon mengatakan bahwa, RUU Otsus Plus bukan ditolak oleh pemerintah pusat, tetapi pembahasannya hanya ditunda hingga 2016.
Terkait gagal masuknya RUU Otsus Plus Papua dalam Prolegnas 2015 ini, banyak elite-elite politik Papua yang begitu meradang dan kecewa. Gubernur Papua, Lukas Enembe bahkan mengancam tidak akan kembali ke Jakarta untuk membahas RUU Otsus Plus Papua lagi. Sedangkan, Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengancam bahwa karena RUU Otsus Plus tidak dikabulkan maka jajaran pemerintahan di Papua akan melaksanakan mogok. Selain itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Papua, Ruben Magay mengatakan bahwa Papua akan minta referendum bila RUU Otsus Plus Papua ini tidak diterima oleh pemerintah pusat.
Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengatakan “Ketika draf RUU Otsus Plus itu tidak diterima dan tidak disahkan oleh Pemerintah Pusat sebagai undang-undang maka dibuka ruang referendum atau dialog Papua-Jakarta”. Sebenarnya, bukan kali ini saja elite Papua mengancam pemerintah pusat dengan kata-kata “Referendum” atau “merdeka”. Hal ini seakan membenarkan anggapan bahwa saat ini OPM (Organisasi Papua Merdeka) banyak disusupi kepentingan-kepentingan, sehingga OPM bukanlah kelompok ideologis.
Sebenarnya, fakta bahwa OPM bukan merupakan organisasi ideologis dapat dilihat dalam kasus Eden Wanimbo, seorang pemimpin kelompok OPM faksi militer yang paling aktif saat ini. Menurut Arek Wanimbo, Kepala suku besar Lanny Jaya, Enden Wanimbo adalah mantan kepala sebuah sekolah menengah di Tiom, Lanny Jaya. Enden dulu ikut memperjuangkan agar Lanny Jaya berpisah dari Kabupaten Jayawijaya. Harapannya, dia bisa jadi kepala dinas pendidikan. Usaha tersebut berhasil pada 2008 ketika Dewan Perwakilan Rakyat setuju pembentukan Lanny Jaya. Namun Enden kecewa karena dia tak dijadikan kepala dinas. Enden masuk hutan dan gabung dengan Puron Wenda.
Semestinya kata-kata “merdeka” atau “referendum” tidak digunakan hanya untuk menekan atau mengancam pemerintah pusat untuk mengikuti apa yang dimaui oleh elite Papua. Nafas dari Otsus Papua adalah usaha untuk memajukan potensi Papua untuk rakyat Papua oleh rakyat Papua dengan melindungi hak ulayat dari orang Papua, sehingga Papua bisa menyusul ketertinggalan dibanding rakyat Indonesia lainnya. Sehingga, usaha meloloskan RUU Otsus Plus Papua dengan ancaman kata “merdeka” atau “referendum” tidak sejalan dengan nafas Otsus Papua itu sendiri.
Oleh sebab itu, dalam pengajuan RUU Otsus plus papua, pemerintah Papua harus melihat 15 tahun ke belakang, pada saat Undang-Undang Otsus plus Papua pertama kali di sahkan oleh presiden Megawati. Pada saat itu, seluruh rakyat papua dari berbagai elemen masyarakat setuju dan satu kata dalam pengajuan Otsus Papua. namun saat ini yang mengajukan dan ngotot agar UU otsus itu disahkan hanyalah elite-elite papua saja, itu sebabnya RUU Otsus tidak di masukkan kedalam proglegnas 2015 , Wajar saja karena pemerintah tidak ingin RUU Otsus Plus ini hanya memuat keinginan elit Papua.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah Papua melakukan evaluasi terhadap penyelenggaran Otsus Papua secara terbuka kepada rakyat Papua terlebih dahulu. Evaluasi yang menyeluruh terhadap penyelenggaraan, regulasi dan lain sebagainya bersama elemen masyarakat Papua. Sehingga diharapkan RUU Otsus Plus untuk rakyat Papua bukan hanya RUU Otsus Plus Elite Papua yang melahap habis dana otsus tersebut.
Terkait gagal masuknya RUU Otsus Plus Papua dalam Prolegnas 2015 ini, banyak elite-elite politik Papua yang begitu meradang dan kecewa. Gubernur Papua, Lukas Enembe bahkan mengancam tidak akan kembali ke Jakarta untuk membahas RUU Otsus Plus Papua lagi. Sedangkan, Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengancam bahwa karena RUU Otsus Plus tidak dikabulkan maka jajaran pemerintahan di Papua akan melaksanakan mogok. Selain itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Papua, Ruben Magay mengatakan bahwa Papua akan minta referendum bila RUU Otsus Plus Papua ini tidak diterima oleh pemerintah pusat.
Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengatakan “Ketika draf RUU Otsus Plus itu tidak diterima dan tidak disahkan oleh Pemerintah Pusat sebagai undang-undang maka dibuka ruang referendum atau dialog Papua-Jakarta”. Sebenarnya, bukan kali ini saja elite Papua mengancam pemerintah pusat dengan kata-kata “Referendum” atau “merdeka”. Hal ini seakan membenarkan anggapan bahwa saat ini OPM (Organisasi Papua Merdeka) banyak disusupi kepentingan-kepentingan, sehingga OPM bukanlah kelompok ideologis.
Sebenarnya, fakta bahwa OPM bukan merupakan organisasi ideologis dapat dilihat dalam kasus Eden Wanimbo, seorang pemimpin kelompok OPM faksi militer yang paling aktif saat ini. Menurut Arek Wanimbo, Kepala suku besar Lanny Jaya, Enden Wanimbo adalah mantan kepala sebuah sekolah menengah di Tiom, Lanny Jaya. Enden dulu ikut memperjuangkan agar Lanny Jaya berpisah dari Kabupaten Jayawijaya. Harapannya, dia bisa jadi kepala dinas pendidikan. Usaha tersebut berhasil pada 2008 ketika Dewan Perwakilan Rakyat setuju pembentukan Lanny Jaya. Namun Enden kecewa karena dia tak dijadikan kepala dinas. Enden masuk hutan dan gabung dengan Puron Wenda.
Semestinya kata-kata “merdeka” atau “referendum” tidak digunakan hanya untuk menekan atau mengancam pemerintah pusat untuk mengikuti apa yang dimaui oleh elite Papua. Nafas dari Otsus Papua adalah usaha untuk memajukan potensi Papua untuk rakyat Papua oleh rakyat Papua dengan melindungi hak ulayat dari orang Papua, sehingga Papua bisa menyusul ketertinggalan dibanding rakyat Indonesia lainnya. Sehingga, usaha meloloskan RUU Otsus Plus Papua dengan ancaman kata “merdeka” atau “referendum” tidak sejalan dengan nafas Otsus Papua itu sendiri.
Oleh sebab itu, dalam pengajuan RUU Otsus plus papua, pemerintah Papua harus melihat 15 tahun ke belakang, pada saat Undang-Undang Otsus plus Papua pertama kali di sahkan oleh presiden Megawati. Pada saat itu, seluruh rakyat papua dari berbagai elemen masyarakat setuju dan satu kata dalam pengajuan Otsus Papua. namun saat ini yang mengajukan dan ngotot agar UU otsus itu disahkan hanyalah elite-elite papua saja, itu sebabnya RUU Otsus tidak di masukkan kedalam proglegnas 2015 , Wajar saja karena pemerintah tidak ingin RUU Otsus Plus ini hanya memuat keinginan elit Papua.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah Papua melakukan evaluasi terhadap penyelenggaran Otsus Papua secara terbuka kepada rakyat Papua terlebih dahulu. Evaluasi yang menyeluruh terhadap penyelenggaraan, regulasi dan lain sebagainya bersama elemen masyarakat Papua. Sehingga diharapkan RUU Otsus Plus untuk rakyat Papua bukan hanya RUU Otsus Plus Elite Papua yang melahap habis dana otsus tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar