Menarik diperhatikan sebuah blog dari Benny Wenda. Dalam blognya, Benny Wenda sebagai sosok dibalik peluncuran IPWP dan ILWP begitu “diagung-agungkan” bagi rakyat Papua sebagai pemimpin masa depan Papua. Terlebih Dari sifat kepemimpinan Benny Wenda selama ini, terlihat bahwa kesan yang ada yaitu hanya Benny Wenda yang mampu dan ‘berhasil’ dalam diplomasi internasional yang mengabaikan dan menganggap tokoh pergerakan lainnya seperti Andi Ayamiseba, Nicolas Jouwe, Franzalberth Joku, Nick Messet, Oridek Ap, John Ondowame, dsb tidak berhasil di luar negeri. Dengan menanggap bahwa dirinya yang ‘berhasil’ menunjukkan keangkuhan, egoisme, dan haus akan kekuasaan dengan merendahkan tokoh lainnya. Seorang pemimpin sejati tidak saling menghujat antara tokoh satu dengan yang lain. Dengan demikian, apakah hanya Benny Wenda satu-satunya yang dianggap berhasil melakukan diplomasi untuk Papua merdeka. Pemimpin sejati harus dapat merangkul semua gololongan dan bukan memunculkan perpecahan diantara sesama tokoh pergerakan. Faktanya, Benny saja tidak mendukung Forkorus yang dipilih sebagai ‘Presiden Negara Republik Federal Papua Barat’ pada Kongres Rakyat Papua III tahun 2012.
Setali tiga uang dengan Benny, jika Forkorus ingin menggugat hasil PEPERA 1969 karena sistem yang digunakan, sebaliknya kita juga dapat menggugat penetapan Forkorus sebagai Presiden NFRPB pada Konferensi Rakyat Papua III yang dilaksanakan pada Oktober 2011. Pelaksanaan KRP III tersebut hanya dihadiri sekitar 500 orang rakyat Papua, dimana pada saat itu jumlah masyarakat Papua sekitar dua juta orang sehingga penetapannya sebagai Presiden NFRPB juga merupakan bagian dari sistem perwakilan karena hanya didukung oleh sekitar 500 rakyat Papua. Bukankah ini adalah sesuatu yang ingin ditentang oleh Forkorus? Namun mengapa ia sendiri melakukan sistem seperti ini?.
Terbukti bahwa Forkorus telah inkonsisten dalam bertindak, di satu sisi ia ingin menggugat hasil PEPERA 1969 namun di sisi lain ia menggunakan hal yang ingin digugat sebagai legalisasi penunjukkannya sebagai Presiden NFRPB. Upaya Forkorus menggugat hasil PEPERA karena tidak menggunakan sistem one man one vote ini sungguh tidak patut dan memutarbalikkan fakta sejarah mengenai pemilihan oleh rakyat Papua karena hingga saat ini pun sistem perwakilan masih digunakan dan diakui dalam pemilihan.
Sudah jelas kedua orang yang mengaku masing-masing sebagai pemimpinnya Papua, namun kenyataannya dalam proses pemilihannya tidak mencerminkan sikap demokratis, serta tidak jelas arah dan tujuan mau dibawa kemana oleh mereka-mereka yang mengaku ‘pemimpin Papua’ Papua tersebut. Berjalan dengan idealisme yang kaku dari keduanya, saling serang dan sikut, mengklaim yang benar, tapi kenyataan dalam dan luar negeri tau bahwa keduanya hanya pencari keuntungan pribadi.
sumber : http://kabarpapua.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar