Penembakan yang terjadi beberapa hari lalu (3/12). Dua anggota Brimob Polda Papua, Bripda Apriyanto Forsen dan Iptu Thomson Siahaan yang tewas tertembak di depan Kantor Bupati Ilaga ketika ingin membantu masyarakat mempersiapkan perayaan menjelang Natal di Kantor Bupati Ilaga. Bripda Apriyanto Forsen ditembak di bagian pelipis, sedangkan Iptu Thomson Siahaan menderita luka tembak di bagian dada dan kaki. Kedua korban pun meninggal di tempat kejadian.
Terkat dengan kejadian tersebut, situasi di wilayah Ilaga mencekam. Karena aparat keamanan mencari pelaku penembakan di sejumlah Honai, rumah warga, karena ada informasi bahwa pelaku penembakan bersembunyi di antara penduduk setempat. Pelaku peanembakan yang lari tersebut dianggap berbahaya, karena mereka membawa lari senjata milik kedua korban, yaitu senjata jenis AK-47 dan SS1.
Terkait penembakan tersebut, salah satu petinggi TPN-OPM (Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka) Goliath Tabuni melalui komnas.tpnpb.net menyatakan bahwa dialah yang bertanggung jawab terhadap penyerangan tersebut. Penembakan tersebut diakuinya merupakan operasi gabungan yang dilakukan kelompok pimpinan Militer Murib, Peni Murib dan Lekagak Telanggen yang langsung ia (Goliath Tabuni) pimpin.
Beberapa tokoh Papua menyesalkan terjadi penembakan tersebut. Yunus Wonda, Ketua DPRP mengatakan “kini bukan saatnya lagi melakukan kekerasan di Tanah Papua, saatnya kita membangun daerah ini, saudara kami yang berseberangan, kekerasan tak akan membuat Papua merdeka. Sudah bukan waktunya lagi, orang justru tak akan simpati dengan perjuangan Papua merdeka lagi”. Menurutnya penembakan terhadap anggota Brimob ataupun kepada warga sipil tidak dapat dibenarkan apapun alasannya.
Entah dari kelompok mana pelaku penembakan tersebut, entah atas alasan apa penembakan itu terjadi, hal yang perlu diketahui adalah ketika peluru ditembakan, maka permasalahan tidak hanya diantara pihak penembak dan pihak yang tertembak saja, penduduk Papua juga merasakan imbasnya. Ketika Papua dan orang-orang Papua sedang mencoba bangkit untuk kesejahteraan dan kedamaian Papua ada saja yang mengacaukan usaha tersebut, dan yang miris adalah si pengacau juga merupakan Orang Papua.
Konflik di Papua sudah berpuluh-puluh tahun terjadi, dengan berbagai sebab mulai dari Freeport, perang antar suku, kontak senjata antara OPM dan TNI sampai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan People Power oleh sayap politik OPM. Pihak OPM dengan lantang berkata “Referendum adalah satu-satunya Jalan” pihak TNI pun berkata dengan lantang “NKRI Harga Mati”, hasilnya? Tidak akan pernah selesai.
Dalam konflik, bila kerugian semacam korban jiwa atau kerugian materil seperti kerusakan bangunan dan lain-lain dapat dihitung besarannya, sedangkan kerugian moril sulit untuk dihitung. Salah satu kerugian moril yang sangat berat adalah timbulnya permasalahan yang saya namakan “lost generation”, atau generasi yang hilang. Lost Generation adalah anak-anak yang tumbuh ketika konflik berlangsung. Generasi ini tumbuh pada masa konflik sehingga mengalami hal-hal yang tidak dialami oleh anak-anak pada umumnya. Anak-anak ini dibesarkan oleh pahitnya konflik, karena dibesarkan oleh situasi konflik maka mental yang tumbuh dari si anak adalah mental semasa konflik ada kebencian, dendam dan kekerasan yang hadir dalam mental si anak. Hal inilah yang terjadi pada generasi sekarang, dan mungkin juga terjadi pada generasi anak-anak ini.
Sebuah kalimat milik Mahatma Gandhi mengkhiri tulisan saya kali ini, “If we are to teach real peace in this world, and if we are to carry on a real war against war, we shall have to begin with the children.” Mari, sediakan ruang yang layak bagi anak-anak Papua untuk tumbuh, jangan sertakan anak-anak Papua dalam konflik ini. Jangan tularkan rasa kebencian kepada mereka.
Terkait penembakan tersebut, salah satu petinggi TPN-OPM (Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka) Goliath Tabuni melalui komnas.tpnpb.net menyatakan bahwa dialah yang bertanggung jawab terhadap penyerangan tersebut. Penembakan tersebut diakuinya merupakan operasi gabungan yang dilakukan kelompok pimpinan Militer Murib, Peni Murib dan Lekagak Telanggen yang langsung ia (Goliath Tabuni) pimpin.
Beberapa tokoh Papua menyesalkan terjadi penembakan tersebut. Yunus Wonda, Ketua DPRP mengatakan “kini bukan saatnya lagi melakukan kekerasan di Tanah Papua, saatnya kita membangun daerah ini, saudara kami yang berseberangan, kekerasan tak akan membuat Papua merdeka. Sudah bukan waktunya lagi, orang justru tak akan simpati dengan perjuangan Papua merdeka lagi”. Menurutnya penembakan terhadap anggota Brimob ataupun kepada warga sipil tidak dapat dibenarkan apapun alasannya.
Entah dari kelompok mana pelaku penembakan tersebut, entah atas alasan apa penembakan itu terjadi, hal yang perlu diketahui adalah ketika peluru ditembakan, maka permasalahan tidak hanya diantara pihak penembak dan pihak yang tertembak saja, penduduk Papua juga merasakan imbasnya. Ketika Papua dan orang-orang Papua sedang mencoba bangkit untuk kesejahteraan dan kedamaian Papua ada saja yang mengacaukan usaha tersebut, dan yang miris adalah si pengacau juga merupakan Orang Papua.
Konflik di Papua sudah berpuluh-puluh tahun terjadi, dengan berbagai sebab mulai dari Freeport, perang antar suku, kontak senjata antara OPM dan TNI sampai gerakan-gerakan yang mengatasnamakan People Power oleh sayap politik OPM. Pihak OPM dengan lantang berkata “Referendum adalah satu-satunya Jalan” pihak TNI pun berkata dengan lantang “NKRI Harga Mati”, hasilnya? Tidak akan pernah selesai.
Dalam konflik, bila kerugian semacam korban jiwa atau kerugian materil seperti kerusakan bangunan dan lain-lain dapat dihitung besarannya, sedangkan kerugian moril sulit untuk dihitung. Salah satu kerugian moril yang sangat berat adalah timbulnya permasalahan yang saya namakan “lost generation”, atau generasi yang hilang. Lost Generation adalah anak-anak yang tumbuh ketika konflik berlangsung. Generasi ini tumbuh pada masa konflik sehingga mengalami hal-hal yang tidak dialami oleh anak-anak pada umumnya. Anak-anak ini dibesarkan oleh pahitnya konflik, karena dibesarkan oleh situasi konflik maka mental yang tumbuh dari si anak adalah mental semasa konflik ada kebencian, dendam dan kekerasan yang hadir dalam mental si anak. Hal inilah yang terjadi pada generasi sekarang, dan mungkin juga terjadi pada generasi anak-anak ini.
Sebuah kalimat milik Mahatma Gandhi mengkhiri tulisan saya kali ini, “If we are to teach real peace in this world, and if we are to carry on a real war against war, we shall have to begin with the children.” Mari, sediakan ruang yang layak bagi anak-anak Papua untuk tumbuh, jangan sertakan anak-anak Papua dalam konflik ini. Jangan tularkan rasa kebencian kepada mereka.