Maret 2015 ~ PAPUA NEWSLETTERS

Mari Cerdaskan generasi muda Papua Indonesia

Karena Generasi muda adalah tiang utama kemajuan. Kekuatan sebuah masyarakat bisa dilihat dari para Generasi Mudanya, karena pemuda adalah yang menunjukkan bahwa masyarakat itu sehat dan mampu untuk melangkah dengan serius dan ketekunan

KU TITIPKAN INDONESIA INI PADA ANAK CUCUMU

>>>...

100% WE LOVE INDONESIA

Banyak pujian dan kekaguman Budaya dan alammu, Kamu dan aku sama – sama cinta Cinta padamu Papuaku. Tiada yang lebih membanggakan jiwa Hanyalah Papuaku Senyuman tulus dan penuh cinta Sungguh menyentuh sanubari oohh

JANGAN BIARKAN MEREKA MERUSAK MORAL ANAK-ANAK MU

>>>...

HARUMKAN NAMA IBU PERTIWI DARI TANAH INI...!!!

...

Selasa, 31 Maret 2015

Organisasi Ilegal yang mengatasnamakan Rakyat

penembakan dan perampasan senjata api milik aparat Kepolisian yang terjadi di Yahukomo oleh anggota KNPB, banyak pendapat-pendapat maupun pernyataan dari beberapa tokoh masyarakat. Salah satunya yaitu Juru Bicara Tim Peduli Masyarakat Kabupaten Yahukimo, Gresgy Nabing.

Gresgy Nabing waktu di wawancarai mengatakan bahwa, Tim Peduli Masyarakat Yahukimo tidak memihak kepada siapapun, baik aparat maupun kelompok KNPB yang berbuntut jatuhnya korban dipihak masyarakat.

Kronologis dari kejadian tersebut berawal dari perampasan dan penembakan yang semula di mulai dari KNPB yang meminta sumbangan atas terjadinya bencana alam yang terjadi di Vanuatu. Namun pelaksanaan pengumpulan dana tersebut disalahgunakan oleh pihak KNPB bahwa nantinya dana tersebut tidak untuk disalurkan kepada pihak Vanuatu. Mendengar berita tersebut, aparat Kepolisian mengambil langkah dan membubarkan aksi tersebut. Aksi pengumpulan dan pelaksanaan tanpa adanya persetujuan dari pihak yang berkaitan. KNPB meminta dana secara ilegal dan anarkis meminta secara paksa kepada masyarakat. Oleh karena itu aparat kepoliasian terpaksa mengambil tindakan tegas, karena hal ini sudah mulai menjurus ke aksi anarkis, karena masyarakat di mintai secara paksa.

Selain itu, disinyalir bahwa dana yang sebelumnya telah terkumpul oleh anggota KNPB nantinya akan digunakan untk pembelian senjata api laras panjang maupun pistol secara ilegal yang akan digunakan untuk melakukan aksi teror di tanah Papua. Bukan hanya itu saja, mereka juga akan menggunakan uang tersebut untuk bersenang-senang seperti membeli minuman keras dll.



Untuk itu, sebaiknya organisasi ilegal seperti KNPb sudah seharusnya di bubarkan saja, karena bukannya membantu pembangunan, tetapi justru hanya menambah masalah di Papua.

Selasa, 24 Maret 2015

Goliat Tabuni, Jenderal OPM Menyerahkan Diri ke TNI

VIVA.co.id - Setelah bertahun-tahun diburu, akhirnya panglima tertinggi organisasi Papua Merdeka (OPM), Jenderal Goliat Tabuni, menyerahkan diri ke Tentara nasional Indonesia (TNI).

Kepala Staf TNI angkatan darat, Jenderal Gatot Nurmantyo, mengatakan, Jenderal Goliat Tabuni menyerahkan diri bersama 23 orang prajuritnya.

Dalam penyerahan diri itu, Jenderal Goliat mengajukan beberapa permintaan kepada TNI, di antaranya, minta dibuatkan rumah adat Honai dan dibuatkan sebuah markas Koramil TNI.

"Kami akan berusaha memenuhi permintaan untuk membangun rumah adat, tapi untuk markas Koramil akan dipertimbangkan lebih dalu," kata Jenderal Gatot Nurmantyo, Selasa, 24 Maret 2015 di Jakarta.

Goliat Tabuni resmi menjabat sebagai panglima tinggi OPM sejak 11 Desember 2012 melalui konferensi tingkat tinggi OPM di Papua.

Goliat dan pasukannya selama ini dikenal sangat kejam dan berdarah dingin. Tercatat sejak tahun 2004 lalu, ia dan pasukannya telah membunuh pasukan TNI dan juga Polri serta merampas senjata.

Rabu, 18 Maret 2015

Elite Papua Gunakan OPM Untuk Mengeruk Keuntungan

Pembahasan mengenai gagal masuknya RUU Otsus Plus dalam Prolegnas 2015 masih menjadi topik pembicaraan hangat di Papua. Salah pemahaman bahwa pemerintah pusat menolak RUU Otsus Plus masih beredar, terkait kesalah pahaman ini, Inisiator Ikatan Cendikiawan Muda Papua, Marthinus Werimon mengatakan bahwa, RUU Otsus Plus bukan ditolak oleh pemerintah pusat, tetapi pembahasannya hanya ditunda hingga 2016.

Terkait gagal masuknya RUU Otsus Plus Papua dalam Prolegnas 2015 ini, banyak elite-elite politik Papua yang begitu meradang dan kecewa. Gubernur Papua, Lukas Enembe bahkan mengancam tidak akan kembali ke Jakarta untuk membahas RUU Otsus Plus Papua lagi. Sedangkan, Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengancam bahwa karena RUU Otsus Plus tidak dikabulkan maka jajaran pemerintahan di Papua akan melaksanakan mogok. Selain itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Papua, Ruben Magay mengatakan bahwa Papua akan minta referendum bila RUU Otsus Plus Papua ini tidak diterima oleh pemerintah pusat.

Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengatakan “Ketika draf RUU Otsus Plus itu tidak diterima dan tidak disahkan oleh Pemerintah Pusat sebagai undang-undang maka dibuka ruang referendum atau dialog Papua-Jakarta”. Sebenarnya, bukan kali ini saja elite Papua mengancam pemerintah pusat dengan kata-kata “Referendum” atau “merdeka”. Hal ini seakan membenarkan anggapan bahwa saat ini OPM (Organisasi Papua Merdeka) banyak disusupi kepentingan-kepentingan, sehingga OPM bukanlah kelompok ideologis.

Sebenarnya, fakta bahwa OPM bukan merupakan organisasi ideologis dapat dilihat dalam kasus Eden Wanimbo, seorang pemimpin kelompok OPM faksi militer yang paling aktif saat ini. Menurut Arek Wanimbo, Kepala suku besar Lanny Jaya, Enden Wanimbo adalah mantan kepala sebuah sekolah menengah di Tiom, Lanny Jaya. Enden dulu ikut memperjuangkan agar Lanny Jaya berpisah dari Kabupaten Jayawijaya. Harapannya, dia bisa jadi kepala dinas pendidikan. Usaha tersebut berhasil pada 2008 ketika Dewan Perwakilan Rakyat setuju pembentukan Lanny Jaya. Namun Enden kecewa karena dia tak dijadikan kepala dinas. Enden masuk hutan dan gabung dengan Puron Wenda.

Semestinya kata-kata “merdeka” atau “referendum” tidak digunakan hanya untuk menekan atau mengancam pemerintah pusat untuk mengikuti apa yang dimaui oleh elite Papua. Nafas dari Otsus Papua adalah usaha untuk memajukan potensi Papua untuk rakyat Papua oleh rakyat Papua dengan melindungi hak ulayat dari orang Papua, sehingga Papua bisa menyusul ketertinggalan dibanding rakyat Indonesia lainnya. Sehingga, usaha meloloskan RUU Otsus Plus Papua dengan ancaman kata “merdeka” atau “referendum” tidak sejalan dengan nafas Otsus Papua itu sendiri.

Oleh sebab itu, dalam pengajuan RUU Otsus plus papua, pemerintah Papua harus melihat 15 tahun ke belakang, pada saat Undang-Undang Otsus plus Papua pertama kali di sahkan oleh presiden Megawati. Pada saat itu, seluruh rakyat papua dari berbagai elemen masyarakat setuju dan satu kata dalam pengajuan Otsus Papua. namun saat ini yang mengajukan dan ngotot agar UU otsus itu disahkan hanyalah elite-elite papua saja, itu sebabnya RUU Otsus tidak di masukkan kedalam proglegnas 2015 , Wajar saja karena pemerintah tidak ingin RUU Otsus Plus ini hanya memuat keinginan elit Papua.

Untuk itu, sebaiknya pemerintah Papua melakukan evaluasi terhadap penyelenggaran Otsus Papua secara terbuka kepada rakyat Papua terlebih dahulu. Evaluasi yang menyeluruh terhadap penyelenggaraan, regulasi dan lain sebagainya bersama elemen masyarakat Papua. Sehingga diharapkan RUU Otsus Plus untuk rakyat Papua bukan hanya RUU Otsus Plus Elite Papua yang melahap habis dana otsus tersebut.

Kamis, 12 Maret 2015

PENJAJAHAN BABAK BARU DI PAPUA

142606026629888120


Penjajahan, penindasan dan kesewenangan sudah berakhir. Provinsi Papua sudah terbebas dari belenggu penjajahan Belanda. Masyarakat Papua memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya yang berada dalam bingkai NKRI. Masa perjuangan Pahlawan Papua dan Pahlawan nasional lainnya sudah membuahkan hasil. Kerja keras, ketekunan, pantang menyerah demi sebuah kata Merdeka dari penjajahan Belanda. Darah yang bercucuran, keringat, air mata berjatuhan tidak mengurangi semangat dan pengorbanan saat itu, kebutuhan pribadi terabaikan demi kepentingan bangsa dan Negara. Akhirnya melalui berperang, diplomasi dan perjanjian-perjanjian rakyat Papua bisa menghirup napas lega dari sebuah tirani penjajahan Belanda. Kemerdekaan Papua dari penjajahan belanda Sudah Final. Papua merupakan bagian dari NKRI, duniapun mengakui itu.



Kilas Sejarah

Dalam perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, tahun 1949 tercapai kesepakatan tentang penyerahan kedaulatan secara resmi kepada Indonesia dan khusus penyerahan Irian akan ‘ ditunda ‘ selama setahun. Sewaktu Indonesia menuntut penyerahan ini, Belanda melakukan tafsir ‘ ditunda ‘ yang diartikan sebagai dirundingkan kembali. Sejak itu hubungan Belanda dan Indonesia memanas.

Belanda memang tidak ingin wilayah ini jatuh ke tangan Indonesia, sejak tahun 1946, Belanda berusaha menjadikan berbagai wilayah di Indonesia sebagai negara federal yang bernaung dibawah Uni Belanda. Lebih dari itu, Belanda berkeinginan membuat Irian Barat sebagai penampungan bagi peranakan Indo yang bermukim di Indonesia atau warga negara Belanda yang di Eropa. Namun rencana ini tidak berjalan lancar.

Perjanjian itu menyebutkan Belanda harus angkat kaki paling lambat Mei 1963. Setelah serah terima dari UNTEA Perserikatan Bangsa Bangsa ke Indonesia pada Mei 1963. Presiden Sukarno berpidato pada bulan Mei 1963 dalam rapat raksasa di Merauke, Irian Barat yang dihadiri Gubernur Aceh, Hasjimi dan Gubernur pertama Irian Barat, E.J Bonay.

Irian Barat tak otomatis menjadi bagian dari Indonesia. Kesepakatan New York mengamanatkan agar Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat, paling lambat akhir 1969 dengan pilihan bergabung dengan Indonesia atau merdeka.



Dalam perjalanannya Masyarakat Papua menunjukkan bukti kepada dunia bahwa mereka memiliki hak menentukan nasib sendiri. Dan penentuan nasib sendiri itu dilakukan di bawah pengawasan PBB melalui PEPERA tahun 1969.

Dalam Pepera itu tidak mungkin dilakukan one man one vote, sehingga diwakilkan kepada tokoh masyarakat atau kepala suku. Hal itu karena faktor transportasi dan masih banyak wilayah Irian yang terpencil. Kenyataan ini dipahami oleh PBB dalam sidang tanggal 19 Desember 1969, mengukuhkan hasil Pepera menjadi Resolusi no 2504, dengan 84 negara setuju, 30 negara abstain dan tidak ada satu negarapun yang menentang. Jadi secara hukum Internasional, Irian Barat sah menjadi bagian dari Republik Indonesia,

Masyarakat papua memiliki kesetaraan dengan masyarakat diwilayah lainnya, bahkan pemerintah sangat memperhatikan ketertinggalan Papua dengan segera melakukan pembenahan disegala sektor. Papua mendapatkankan perhatian khusus dari pemerintah pusat seperti adanya otonomi khusus, jaminan kesehatan dan sarana pendidikan. Kesetaraan, toleransi dan saling menghargai merupakan wujud nyata dalam perilaku masyarakat sehari-hari di Papua, namun situasi yang damai ini terkadang di ganggu oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab, demi kepentingan pribadi, jabatan dan memperkaya diri dan kelompoknya. Pertanyaannya sekarang, siapakah yang menjajah Papua saat ini???……



PAPUA DALAM BELENGGU & TEROR PENJAJAHAN KAUMNYA SENDIRI






Saat ini Papua dijajah oleh kaumnya sendiri yaitu Korupsi, separatis (OPM) dan Organisasi terlarang lainnya (Ilegal).

1. KORUPSI

Direktur Lembaga Papua Anti Corruption Investigation, Anthon Raharusun mengatakan, kasus korupsi menjadi isu penting di Papua seiring berlakunya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. UU itu menjadi payung hukum bagi Pemerintah Pusat mengucurkan dana triliunan rupiah untuk Propinsi Papua guna percepatan pembangunan.

Pada 2014, misalnya, Pemerintah Pusat mengucurkan dana Otsus senilai Rp 4,7 triliun, meningkat Rp 400 miliar dibandingkan dana Otsus 2013 senilai Rp 4,3 triliun. Adapun dana Otsus 2014 untuk Papua Barat, tercatat mencapai Rp 2 triliun, meningkat Rp 200 miliar dari dana Otonomi Khusus pada 2013.

Meski Papua dan Papua Barat mendapatkan kucuran dana dalam jumlah besar lewat mekanisme Otsus, tak terlihat ada pembangunan pesat di kedua wilayah. Karenanya, dugaan korupsi oleh pejabat di kedua provinsi pun mencuat ke permukaan.

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan, ada fenomena aneh yang terjadi di Papua jika ada kasus dugaan korupsi yang dilakukan pejabat setempat. Apa keanehan itu?
“Ada fenomena aneh di Papua. Kalau seorang pejabat digoyang kasus korupsi, dia akan memprovokasi masyarakat untuk berdemonstrasi,” kata Abraham saat mengisi pembekalan calon anggota legislatif dari PDI-P, di Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (3/7/2013).

Menurut Abraham, ia telah menerima laporan dari Kepala Polda Papua terkait penanganan korupsi di sana. Kapolda Papua memintanya berkunjung ke kantor-kantor pemerintahan di Provinsi Papua pada hari Kamis. Sebab, pada hari-hari menjelang akhir pekan, seluruh kantor pemerintahan diduga kosong karena para pejabatnya terbang ke Jakarta untuk urusan pribadi. Informasi yang diberikan kepada Abraham diperkuat dengan sejumlah bukti fisik. Salah satunya bukti pembayaran dari beberapa pejabat daerah di Papua saat menginap di hotel berbintang di Jakarta.

“Saya tanya kenapa Kamis? Katanya Kamis semua kantor bupati kosong, semua pada ke Jakarta untuk berfoya-foya. Ada bukti pembayaran di Hotel Shangrila di President Suite,”

Akhirnya rakyat Papua mendapatkan jawaban atas alibi pemerintah daerah yang menganggap Otsus gagal selama ini. Satu jawaban yang pasti saat ini adalah Dana otsus yang besar seharusnya dapat mensejahterakan rakyat melainkan dikorupsi besar-besaran tanpa sisa oleh pemerintah daerah Papua. Apabila elite Papua selalu meneriakkan “Otsus Gagal” maka tidak beda seperti melempar kotoran di muka sendiri. Elite papua seolah-olah tidak puas dengan dana otsus yang selama ini di korupsi, ada upaya memberikan statement otsus gagal dan meminta adanya perkembangan menjadi otsus Plus. Ketamakan, kerakusan dan haus jabatan mencuat dari draff yang mereka buat sepihak. Bila Otsus dinilai gagal maka seharusnya pemerintah daerah Papua melaksanakan evaluasi yang mendalam. Otsus gagal sumbernya adalah Perilaku korupsi para pejabat Papua dan tidak profesionalnya birokrat dan PNS di Papua

2. SEPARATIS (OPM) DAN ORGANISASI TERLARANG (ILEGAL)


- TPN OPM sumber kekerasan di Papua, kelompok Organisasi Papua Merdeka terlibat dalam rangkaian peristiwa penembakan misterius dan kekerasan di Papua yang terjadi beberapa pekan terakhir. Pada awal tahun 2015 saja sudah terjadi deretan penembakan, perampasan dan premanisme seperti pemalangan dan penyanderaan yang dilakukan oleh kelompok OPM terhadap mayasrakat, aparat TNI/POLRI dan aparatur pemerintahan daerah. Pada bulan januari saja sudah tercatat berkali-kali kegiatan anarkis yang dilakukan oleh kelompok TPN OPM seperti penembakan terhadap 2 Anggota Brimob di timika dan satu security Freeport, pembakaran alat berat, Penembakan anggota Polres Lanny Jaya dan penembakan terhadap pekerja jalan di Lanny Jaya dengan tujuan melarang adanya pembangunan jalan (Cendrawasih pos, 2 feb 2015).

Aksi lainnya dengan melakukan teror terhadap pemerintah daerah dan masyarakat yang ada didaerah pegunungan, banyak sudah korban berjatuhan. Aksi empuk TPN OPM dilakukan dengan mengganggu lajuran mobil yang membawa kebutuhan pokok ke puncak jaya, dengan cara merampas dan tidak segan melakukan kekerasan, belakangan aparatur daerah disekap dan TPN OPM meminta tebusan uang sebagai pengganti keselamatan nyawanya. Aksi semacam ini seringkali terjadi Komnasham sepertinya diam ketika pelakunya TPN OPM.

- KNPB, UMLWP dan PNPB merupakan organisasi terlarang, Ilegal dan sumber konflik di tanah Papua, Rangkaian kejahatan sepertinya sudah direncanakan untuk memberikan teror dan ketidak nyamanan terhadap Masyarakat Papua. Ketenangan dan kedamaian semakin tergerus oleh ulah sekelompok orang yang haus akan kekuasaan, jabatan dan memperkaya diri. Tampak jelas antara kelompok Organisasi Ilegal dan OPM memiliki keterkaitan dan dapat merongrong kedaulatan, kedamaian dan memunculkan konflik di tanah Papua. Provokasi, hasutan, Fitnah, adu domba dan tindakan kriminal lainnya tidak henti- hentinya mereka lakukan dan sudah menjadi bagian kegiatan dalam memuluskan akal busuk dan kepentingan mereka. Banyak organisasi di Papua yang tidak terdaftar di kesbangpol dan memiliki indikasi ter Afiliasi dengan kelompok TPN OPM. Seperti KNPB, UMLWP dan PNPB. Mereka mengatakan ini bagian dari penyatuan pergerakan politik dan separatis. Keterkaitan mereka tampak jelas dengan beberapa bukti yang tampak seperti tertangkapnya jaringan beli amunisi yang dilakukan oleh anggota KNPB di jayapura. (Bintang Papua, januari 2015)dan adanya kegiatan yang mereka lakukan bersama seperti yang baru ini dilakukan di rusunawa uncen waena kota jayapura yang mengatas namakan 3 kelompok besar yaitu KNPB, UMLWP dan PNPB, kegiatan serupa juga dilakukan di Manokwari dan Nabire.

Kelompok ini mengumpulkan masyarakat yang sedang berjualan dengan paksa, melakukan pemalangan kampus sehingga merampas hak belajar bagi mahasiswa dan hak untuk mencari nafkah bagi masyarakat. Selain itu mereka melakukan orasi provokatif, fitnah, adu domba yang berdampak pada kebencian dan permusuhan antar masyarakat dengan masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah. Selayaknya masyarakat Papua bisa membentengi diri dari aksi fitnah dan provokatif ini. Mereka hanya haus akan jabatan, ingin berfoya-foya dan menjadikan diri sebagai penguasa dengan menjual nama rakyat yang sebenarnya hanya demi kepentingan pribadi. Mereka dapat uang banyak dari negara asing dan hanya jalan-jalan keluar negeri untuk berfoya-foya.

Kemerdekaan Papua Sudah Final dari belenggu penjajahan Belanda. Saatnya kita mengisi kemerdekaan dengan suka cita dengan memberikan kontribusi terhadap perkembangan pembangunan daerah dan kemajuan bangsa. Meningkatkan kemampuan diri dan mengembangkan segala potensi alam yang ada. Pembekalan kompetensi SDM dan keterampilan personal pada saat ini sangat dibutuhkan Papua.

Mari selamat kan papua dari pengaruh buruk gerakan separatis dan organisasi terlarang tersebut. Jangan sampai anak cucu kita menjadi liar, terjerumus dan buram masa depannya, masa depan ada pada generasi muda yang berbudi luhur, menghormati perbedaan dan bermoral. Biarkan matahari tetap bersinar dipapua, masyarakat hidup berdampingan dengan damai dan tentram. Kita hanya sebagai ciptaan tuhan yang selalu ingin damai dan semoga menjadi memory yang indah pada penerus bangsa ini kelak

Jumat, 06 Maret 2015

KEBOHONGAN YANG DI SUARAKAN OLEH BENNY WENDA DI LUAR NEGERI

Pendirian kantor baru FWPC di Afrika Selatan oleh Benny Wenda yang mengatakan bahwa ratusan Orang Papua dibunuh oleh Pemerintah Indonesia setiap harinya dan kasus Apartheid sedang terjadi di Papua saat ini. Sebagai orang Papua, saya selalu merasa kuatir bila Benny Wenda mengeluarkan statemennya tentang Papua yang terkadang tidak dilandasi oleh fakta atau kata kasarnya bohong, karena Benny Wenda selalu mengatakan bahwa ia mewakili Orang Papua, yang selalu ia sebut sebagai My People. Bila perkataan-perkataan Benny Wenda tersebut ditemukan fakta sebenarnya, maka bukan hanya Benny Wenda yang dicap sebagai pembohong, Orang Papua lainnya juga bisa terkena dampak dari kebohongan-kebohongan tersebut. Coba kita lihat permasalahan yang di angkat oleh Benny Wenda berikut ini :

Genosida Terjadi di Papua?

Isu ini sebenarnya kerap digunakan aktivis OPM dalam usahanya mendapatkan simpati dunia internasional. Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Kalosil, salah satu sponsor utama pergerakan OPM di luar negeri pernah menuduh Indonesia melakukan Genosida di Papua dalam forum Sidang tahunan Dewan HAM PBB di Jenewa, maret 2014 lalu. Genosida dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras, apakah hal tersebut terjadi kepada orang Papua?

Forkorus Yaboisembut, seorang tokoh OPM yang mengklaim dirinya sebagai Presiden NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat) mengatakan Secara definisi mungkin Orang Asli Papua (OAP) belum bisa dikatakan mengalami genodisida. Data faktual dari BPS menyebutkan bahwa Jumlah penduduk Papua tahun 1971 versi BPS adalah 923.440 jiwa. Hasil sensus penduduk tahun 2000 tercatat 2.220.934 jiwa. Sepuluh tahun kemudian, sensus 2010 berjumlah 2.833.381 (di Papua) dan di Papua Barat 760.422 jiwa. Dari 2.833.381 penduduk Provinsi Papua tersebut, terdapat 674.063 warga non papua (pendatang), sedangkan warga asli Papua sebanyak 2.159.318. Berarti terjadi pertambahan penduduk asli Papua dalam 40 tahun (thn 1971 s.d 2010) sekitar 1,2 juta jiwa (lebih dari dua kali lipat). Bandingkan dengan Provinsi Sumatera Utara. Sensus penduduk tahun 1971 berjumlah 6.621.831 jiwa. Sensus penduduk thn 2010 berjumlah 12.982.204. Demikian juga di Nusa Tenggara Barat (NTB), tahun 1971 berjumlah 2.203.465 menjadi 4.500.212 pada tahun 2010. Maka pertumbuhan penduduk di Papua, Sumatera Utara dan NTB memiliki kecepatan yang rata-rata sama.

Data-data tersebut tidak penting bagi Benny Wenda dan para pendukungnya, karena isu genosida dianggap isu yang menarik dunia internasional maka digunakanlah isu tersebut, benar atau tidak benar, jujur ataupun bohong. Selama hal tersebut bermanfaat bagi kepentingannya maka akan dilakukan, terutama untuk menggalang dana dari masyarakat Papua yang tidak tahu apa-apa. Apakah ini bukan suatu kebohongan yang diangkat oleh Benny Wenda ?

Apartheid Terjadi di Papua?

Apartheid (arti dari bahasa Afrikaans: apart memisah, heid sistem atau hukum) adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990. Praktek politik rasialis apartheid diawali sejak tahun 1930-an ketika Partai Nasional memenangkan pemilihan umum. Sejak saat itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Afrika Selatan cenderung melembagakan hal-hal yang berbau rasial di dalam hampir semua aspek kehidupan rakyatnya.

Kebijakan pertama apartheid secara resmi mengatur aspek pernilahan diantara kedua ras. Berdasarkan aturan Prohibition of Mixed Marriages Act, Act No 55 of 1949, pernikahan antara orang kulit hitam dan putih dilarang. Kemudian secara lebih mendalam, Immorality Amendment Act, Act No 21 of 1950; amended in 1957 (Act 23), hubungan dewasa antara kulit hitam dan putih ditetapkan. Dalam aspek kependudukan, Population Registration Act, Act No 30 of 1950 dikeluarkan untuk mendaftar setiap ras masyarakat. Lalu tidak lama setelah itu Group Areas Act, Act No 41 of 1950 dikeluarkan. Kebijakan ini menandakan bahwa akan ada pemisahan wilayah antara ras kulit putih dan ras kulit hitam. Satu tahun setelah kebijakan tersebut dibuat, untuk mengatur sektor sumber daya manusia kulit hitam, dikeluarkanlah Bantu Building Workers Act, Act No 27 of 1951. Berdasarkan kebijakan ini, orang-orang dari kulit hitam dapat dilatih menjadi pekerja bangunan dimana sebelumnya pekerjaan tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang ras kulit putih. Namun perlu digarisbawahi bahwa pekerjaan tersebut bertempat di wilayah yang ditinggali ras kulit hitam. Jika mereka bekerja pada daerah kulit putih maka hal tersebut dianggap tindakan kriminal. Selanjutnya, dikeluarkan Prevention of Illegal Squatting Act, Act No 52 of 1951 yang memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menghilangkan ras kulit hitam dari tanah-tanah milik publik atau privat untuk selanjutnya ditempatkan pada camp-camp tertentu. Dalam aspek politis, kebijakan apartheid yang dikeluarkan seperti Separate Representation of Voters Act, Act No 46 of 1951 dan amandemennya mengatur bahwa orang-orang ras kulit hitam tidak memiliki hak suara dalam bidang politis.

Kebijakan seperti ini tidak pernah hadir di Papua, tidak ada perbedaan hukum antara orang asli Papua dan suku pendatang lainnya di Papua. Isu ini digunakan oleh Benny Wenda hanya untuk menarik dukungan tokoh-tokoh Afrika Selatan terhadap kepentingan Benny Wenda dan FWPC yang baru saja mendirikan kantor barunya di Afrika Selatan.



Benny Wenda selama ini selalu mengaku sebagai pemimpin orang Papua dalam berbagai safari politiknya di berbagai negara dalam usahanya memisahkan Papua dari Indonesia. Kita mungkin tidak akan terlalu mempedulikan hal tersebut, yang perlu kita pedulikan adalah ketika Benny Wenda membawa berita-berita bohong mengenai Papua di luar negeri. Benny Wenda boleh bicara di forum internasional dalam usahanya memisahkan Papua dari Indonesia, dan kita juga boleh menentang usaha tersebut, karena setiap orang memiliki kebebasan untuk berekspresi. Tetapi sangat disayangkan kalau apa yang dibicarakan Benny Wenda tersebut hanya berlandaskan kepada kebohongan semata yang akan merusak citra orang Papua di mata dunia.

Bukan untuk Orang Papua Malah untuk Perut Sendiri (KNPB)

Langkah langkah politik yang dilakukan oleh pihak KNPB di luar Negri sudah sangat memprihatinkan, apalagi yang dilakukan oleh benny wenda dan kawan-kawan! Mengaung ngaung kan tentang merdeka di dunia luar agar di kasihani. Tidak sadarkah meraka bahwa rakyat Papua bukan pengemis! Sodara-sodara kita di Papua sebenarnya tidak membutuhkan itu semua! Akan tetapi kesejahteraan.

Ada belasan organisasi yang berada dalam kategori ini, beberapanya berada di Papua, tapi kebanyakan berada di luar negeri. Ada (WPNCL) pimpinan Andy Ayamiseba di wilayah Pasifik Selatan, ada (FWPC) pimpinan Benny Wenda di beberapa negara di Eropa, ada (WPNA) pimpinan Jacob Rumbiak di Australia, ada KNPB dan ada NRFPB di Papua serta kelompok-kelompok lainnya yang lebih kecil.

Seperti halnya para politisi, kelompok-kelompok OPM faksi politik juga memiliki kecenderungan untuk mengamankan kepentingan kelompoknya sehingga banyak berseteru antara satu dengan lainnya. Selain itu kelompok-kelompok ini tidak pernah mengakui keberadaan kelompok-kelompok OPM faksi militer karena pergerakan keompok-kelompok OPM faksi militer seringkali melakukan pelanggaran HAM, padahal kelompok-kelompok faksi politik OPM sering menggunakan isu pelanggaran HAM. Sedangkan pimpinan-pimpinan kelompok OPM faksi militer juga menganggap bahwa kelompok-kelompok faksi politik OPM sebagai pengecut karena hanya berani “berjuang” di luar negeri, nyaman dengan kehidupan mereka di luar negeri dengan keluarganya masing-masing. Sedangkan kelompok-kelompok faksi militer OPM harus bergerilya keluar-masuk hutan.

Gaya hidup tokoh-tokoh OPM faksi politik pun sering mendapat sorotan. Seringkali mereka dengan frontal menunjukan kemewahan hidup mereka di luar negeri lewat foto-foto lewat jejaring sosial yang begitu kontras dengan kehidupan orang Papua di pedalaman. Para tokoh ini sering mengatakan pada dunia internasional bahwa mereka adalah pembela nasib orang Papua yang hidup dalam keterbelakangan, tetapi mereka sendiri begitu nyaman mempertontontkan kehidupan mewah mereka di luar negeri.

Lalu, siapakah OPM sejati?

Mungkin, tidak ada yang benar-benar bisa disebut sebagai OPM sejati yang berniat memisahkan Papua dari Indonesia demi rakyat Papua. Ketidakpedulian terhadap nasib rakyat Papua, arogansi bahwa kelompoknya lah yang paling benar dan mengatasnamakan kepentingan kelompok dan pribadinya sebagai kepentingan rakyat Papua, menjadi ciri kelompok-kelompok faksi militer dan politik OPM.

Para Pemuda Papua lebih membutuhkan banyak hal, anak-anak Papua membutuhkan pendidikan yang layak, pemudanya butuh kesempatan untuk berkarya, para mamanya butuh tempat yang layak untuk berjualan dan para lelaki membutuhkan kesempatan untuk mengais rezeki yang layak untuk menghidupi keluarganya. Papua membutuhkan hal-hal tersebut untuk membangun Papua dari ketertinggalan. Dan coba tebak, anggota-anggota OPM dan para simpatisannya tidak membantu rakyat Papua untuk mendapatkan keterbutuhannya tersebut. Namun karena keberadaan OPM ini membuat pembangunan menjadi terhambat, konflik yang mereka buat menimbulkan ketakutan bagi kaum wanita terutama anak-anak.

Sejalan dengan itu, masyarakat Papua saat ini telah dapat memilah mana yang benar dan salah. Isu-isu Papua sudah bukan merupakan barang aneh yang memang banyak dijual oleh kelompok-kelompok pro M. Padahal apa yang mereka gambarkan sebenarnya sangat jauh dari kebenaran apa yang terjadi di Papua saat ini.



Mungkin kita perlu mengingat pesan pendiri negeri ini yang termaktub dalam lirik lagu “Indonesia Raya”, yang berbunyi “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya”. Jiwalah yang pertama dibangun, baru kemudian badan. Saya tidak akan senang bila Papua menjadi seperti New York, dimana Spiderman bisa berayun karena padatnya bangunan tinggi nan mewah, saya akan senang bila Papua seperti Kopenhagen, salah satu kota dengan indeks kedamaian tertinggi di dunia


Kamis, 05 Maret 2015

Otsus Plus Papua vs Otsus Plus Elite Papua

Pembahasan mengenai gagal masuknya RUU Otsus Plus dalam Prolegnas 2015 masih menjadi topik pembicaraan hangat di Papua. Salah pemahaman bahwa pemerintah pusat menolak RUU Otsus Plus masih beredar, terkait kesalahpahaman ini, Inisiator Ikatan Cendikiawan Muda Papua, Marthinus Werimon mengatakan bahwa, RUU Otsus Plus bukan ditolak oleh pemerintah pusat, tetapi pembahasannya hanya ditunda hingga 2016.



Terkait gagal masuknya RUU Otsus Plus Papua dalam Prolegnas 2015 ini, banyak elite-elite politik Papua yang begitu meradang dan kecewa. Gubernur Papua, Lukas Enembe bahkan mengancam tidak akan kembali ke Jakarta untuk membahas RUU Otsus Plus Papua lagi. Sedangkan, Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengancam bahwa karena RUU Otsus Plus tidak dikabulkan maka jajaran pemerintahan di Papua akan melaksanakan mogok. Selain itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Papua, Ruben Magay mengatakan bahwa Papua akan minta referendum bila RUU Otsus Plus Papua ini tidak diterima oleh pemerintah pusat.



Reaksi yang berlebihan, bila dilihat dari fakta bahwa sebenarnya RUU Otsus Papua tidak ditolak, hanya diundur pembahasannya. Bahkan Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly sudah memberikan penjelasan kenapa RUU Otsus Papua ini tidak dimasukan dalam Prolegnas 2015. Pertama pemerintah Jokowi ingin memprioritaskan kebijakan affirmative action untuk Papua terlebih dahulu tanpa disibukan dengan peraturan perundang-undangan yang baru. Kebijakan affirmative action yang dimaksud misalnya adalah dengan memperbayak infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Kedua, pengajuan RUU Otsus Plus ini yang terburu-buru dan masuk pada saat injury time. Yasona Laoly mengatakan bahwa ia harus berkonsultasi dengan kementerian lain terkait RUU Otsus Plus Papua ini.



Tetapi, dari berbagai reaksi para elite Papua yang nampak begitu berlebihan itu, terlihat kesalahan-kesalahan mereka terkait pemahaman tentang Otsus Papua, beberapanya adalah sebagai berikut :



Membandingkan Papua dengan Aceh



Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe menyatakan “kenapa Aceh harus diperlakukan khusus oleh Pemerintah Pusat dibanding Papua. Memang di sana ada apa? Ini tidak adil jadi kami tetap akan pakai Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang ada” . Pernyataan yang terkesan “ngambek” itu terkait dengan keinginan Lukas bahwa lolosnya RUU Otsus Plus nanti, wewenang pemerintah Papua akan sebesar wewenang pemerintah Aceh yang diatur dalam UU Pemerintah Aceh. Pernyataan “ngambek” tersebut patut disayangkan, apalagi keluar dari mulut seorang Lukas Enembe.



Kondisi Papua dan Aceh jauh berbeda. Ini bukan siapa yang lebih kaya Sumber daya Alamya (SDA) atau siapa yang lebih mampu Sumber Daya Manusianya (SDM). Kondisi politik keduanya berbeda. Aceh dan Papua memiliki gerakan separatis, di Aceh dulu ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan di Papua ada Organisasi Papua Merdeka (OPM). Para anggota GAM saat ini sudah meletakan senjatanya dan aktivis GAM di luar negeri sudah kembali ke Aceh untuk membangun Aceh dalam lingkup Indonesia. Sedangkan anggota OPM, sampai saat ini belum meletakan senjatanya dan kerap menyerang aparat keamanan, bahkan akhir-akhir ini juga menyerang penduduk sipil .



Dengan perbedaan ini, adalah satu kesalahan bila Lukas Enembe membandingkan Papua dengan Aceh. ada belasan kelompok faksi militer OPM/Kelompok Kriminila Bersenjata (KKB) meletakan senjatanya dan aktivis faksi politik OPM di luar negeri kembali ke Papua dan membangun Papua dalam lingkup Indonesia, Papua dan Aceh tidak bisa disamakan. Dan oleh karena itu, bentuk aturannya pun juga tidak boleh disamakan.



Ancaman “Merdeka” dan “Referendum”



Ketua MRP (Majelis Rakat Papua) Timotus Murib mengatakan “Ketika draf RUU Otsus Plus itu tidak diterima dan tidak disahkan oleh Pemerintah Pusat sebagai undang-undang maka dibuka ruang referendum atau dialog Papua-Jakarta”. Sebenarnya, bukan kali ini saja elite Papua mengancam pemerintah pusat dengan kata-kata “Referendum” atau “merdeka”. Hal ini seakan membenarkan anggapan bahwa saat ini OPM (Organisasi Papua Merdeka) banyak disusupi kepentingan-kepentingan, sehingga OPM bukanlah kelompok ideologis.



Sebenarnya, fakta bahwa OPM bukan merupakan organisasi ideologis dapat dilihat dalam kasus Eden Wanimbo, seorang pemimpin kelompok OPM faksi militer yang paling aktif saat ini. Menurut Arek Wanimbo, Kepala suku besar Lanny Jaya, Enden Wanimbo adalah mantan kepala sebuah sekolah menengah di Tiom, Lanny Jaya. Enden dulu ikut memperjuangkan agar Lanny Jaya berpisah dari Kabupaten Jayawijaya. Harapannya, dia bisa jadi kepala dinas pendidikan. Usaha tersebut berhasil pada 2008 ketika Dewan Perwakilan Rakyat setuju pembentukan Lanny Jaya. Namun Enden kecewa karena dia tak dijadikan kepala dinas. Enden masuk hutan dan gabung dengan Puron Wenda. 



Semestinya kata-kata “merdeka” atau “referendum” tidak digunakan hanya untuk menekan atau mengancam pemerintah pusat untuk mengikuti apa yang dimaui oleh elite Papua. Nafas dari Otsus Papua adalah usaha untuk memajukan potensi Papua untuk rakyat Papua oleh rakyat Papua dengan melindungi hak ulayat dari orang Papua, sehingga Papua bisa menyusul ketertinggalan dibanding rakyat Indonesia lainnya. Sehingga, usaha meloloskan RUU Otsus Plus Papua dengan ancaman kata “merdeka” atau “referendum” tidak sejalan dengan nafas Otsus Papua itu sendiri.



Apa yang harus dilakukan?



Menurut saya, dalam pengajuan RUU Otsus Plus Papua, pemerintah Papua harus melihat 15 tahun yang lalu, ketika UU Otsus Papua pertama kali disahkan oleh presiden wanita pertama Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Ketika itu, seluruh rakyat Papua dari berbagai elemen masyarkatanya setuju dan satu kata dalam pengajuan Otsus Papua. Saat ini, yang mengajukan hanyalah elite-elite Papua saja, saya pikir wajar ketika pemerintah Jokowi tidak memasukan RUU Otsus Plus dalam Prolegnas 2015 dan menawarkan dialog terkait Otsus Plus ini kepada berbagai elemen masyarakat di Papua .



Pemerintah Jokowi saya rasa tidak ingin kalau RUU Otsus Plus yang diajukan hanya memuat keinginan elite Papua saja, bukan rakyat Papua secara keseluruhan. Apalagi bila ditambah komentar-komentar provokatif yang berlebihan dari para elite Papua ini ketika RUU Otsus Plus ini ditunda. Saya garis bawahi, ditunda, bukan ditolak. Tetapi, komentar provokatif elite Papua itu tidak dibarengi oleh pergerakan yang signifikan dari elemen masyarakat Papua terhadap tidak masuknya RUU Otsus Papua dalam Prolegnas 2015. Maka kesan bahwa RUU Otsus Plus ini hanya memuat kepentingan para elite Papua makin kuat



Untuk itu, saran saya kepada pemerintah Papua untuk melakukan evaluasi terhadap penyelenggaran Otsus Papua secara terbuka kepada rakyat Papua terlebih dahulu. Bukan hanya kepada ratusan orang saja seperti yang dilakukan oleh MRP. Evaluasi yang menyeluruh terhadap penyelenggaraan, regulasi dan lain sebagainya bersama elemen masyarakat Papua. Sehingga dari evaluasi tersebut diharapkan akan lahir RUU Otsus Plus Papua, bukan hanya RUU Otsus Plus Elite Papua. Akhirnya, dalam pengajuannya pun, elite Papua ini akan didukung oleh rakyat Indonesia di Papua, seperti halnya keberhasilan pengajuan UU Otsus Papua 15 tahun yang lalu.



Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites