Kaki Gunung Merapi menjadi saksi bertemunya dua tradisi dan kebudayaan masyarakat yang berbeda. Namun atas nama sesama anak bangsa, perbedaan itu tak menjadi penghalang untuk keduanya saling bergandengan tangan, tersenyum dan bersaudara.
Syukuran
Acara bakar batu ini digelar sebagai ucapan syukur atas suksesnya para mahasiswa magang di Dusun Sumberan. Selain ucapan syukur, acara bakar batu juga sebagai upacara perpisahan dengan warga desa yang selama 16 hari telah menerima mahasiswa asal Papua ini.
Ratusan mahasiswa asal Papua melakukan gelar budaya bakar batu lereng Gunung Merapi, Dusun Sumberan, Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Berbeda dengan di Papua, bakar batu di Sleman tidak menggunakan babi tetapi ayam.
"Di Papua kami masak babi, tapi karena di Yogyakarta kami menyesuaikan, jadi kami ganti dengan ayam, supaya semua bisa makan," kata koordinator rombongan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Pertanian Jaya Pura, Papua, Aminus Kogoyo.
Meski dengan bahan utama berbeda, tetapi penggunaan bahan pembuatan tetap sama. Mereka membakar batu dengan menggunakan ranting dan membakarnnya. Saat pembakaran, mereka menyanyi dan menari khas Papua. Setelah batu panas, digunakan untuk memasak ayam dan umbi-umbian.
Menurut Aminus, kegiatan ini sebagai ungkapan rasa syukur dan perpisahan karena selama 16 hari sebanyak 152 mahasiswa Papua tinggal di Dusun Sumberan, Candibinangun, Pakem, Sleman. "Kami ingin merayakan perpisahan dengan warga di sini setelah kami live in,"jelasnya.
"Ini acara syukur dan ucapan perpisahan. Kami telah diterima dan menjadi saudara warga di sini. Kami selesai tanggal 15 April besok," kata Haminus.
Menurut Haminus, selama 16 hari para mahasiswa dari Papua yang berjumlah 151 dapat merasakan masakan khas warga kaki Gunung Merapi ini. Karenanya, dalam acara bakar batu ini, para mahasiswa ingin melayani warga dengan membuat makanan yang dimasak dengan cara adat Papua.
“Penghormatan kami terhadap warga di sini, bakar batu. Kami pasti akan merindukan keluarga di sini," ucapnya.
Sekitar satu jam kemudian, semua tumpukan daun dan batu-batuan dibuka. Tampak ubi dan daging ayam serta sayuran sudah matang. Para mahasiswa Stiper Jayapura pun mulai menyuguhkan makanan tersebut kepada para warga. Tampak beberapa warga tak sabar ingin mencicipi masakan khas Papua itu.
"Ini kita suguhkan dan nanti makan bersama dengan warga," pungkas Haminus.
Kaki Gunung Merapi menjadi saksi bertemunya dua tradisi dan kebudayaan masyarakat yang berbeda. Namun atas nama sesama anak bangsa, perbedaan itu tak menjadi penghalang untuk keduanya saling bergandengan tangan, tersenyum dan bersaudara.
Ini membuktikan bahwa dari sabang sampai merauke adalah satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan lagi. Masyarakat Indonesia memang harus bersatu padu untuk membangun bangsa ini, dan di harapkan tak ada lagi konflik-konflik berkepanjangan seperti yang sering terjadi selama ini.
Sumber: kompas.com
Acara bakar batu ini digelar sebagai ucapan syukur atas suksesnya para mahasiswa magang di Dusun Sumberan. Selain ucapan syukur, acara bakar batu juga sebagai upacara perpisahan dengan warga desa yang selama 16 hari telah menerima mahasiswa asal Papua ini.
Ratusan mahasiswa asal Papua melakukan gelar budaya bakar batu lereng Gunung Merapi, Dusun Sumberan, Candibinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Berbeda dengan di Papua, bakar batu di Sleman tidak menggunakan babi tetapi ayam.
"Di Papua kami masak babi, tapi karena di Yogyakarta kami menyesuaikan, jadi kami ganti dengan ayam, supaya semua bisa makan," kata koordinator rombongan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Pertanian Jaya Pura, Papua, Aminus Kogoyo.
Meski dengan bahan utama berbeda, tetapi penggunaan bahan pembuatan tetap sama. Mereka membakar batu dengan menggunakan ranting dan membakarnnya. Saat pembakaran, mereka menyanyi dan menari khas Papua. Setelah batu panas, digunakan untuk memasak ayam dan umbi-umbian.
Menurut Aminus, kegiatan ini sebagai ungkapan rasa syukur dan perpisahan karena selama 16 hari sebanyak 152 mahasiswa Papua tinggal di Dusun Sumberan, Candibinangun, Pakem, Sleman. "Kami ingin merayakan perpisahan dengan warga di sini setelah kami live in,"jelasnya.
"Ini acara syukur dan ucapan perpisahan. Kami telah diterima dan menjadi saudara warga di sini. Kami selesai tanggal 15 April besok," kata Haminus.
Menurut Haminus, selama 16 hari para mahasiswa dari Papua yang berjumlah 151 dapat merasakan masakan khas warga kaki Gunung Merapi ini. Karenanya, dalam acara bakar batu ini, para mahasiswa ingin melayani warga dengan membuat makanan yang dimasak dengan cara adat Papua.
“Penghormatan kami terhadap warga di sini, bakar batu. Kami pasti akan merindukan keluarga di sini," ucapnya.
Sekitar satu jam kemudian, semua tumpukan daun dan batu-batuan dibuka. Tampak ubi dan daging ayam serta sayuran sudah matang. Para mahasiswa Stiper Jayapura pun mulai menyuguhkan makanan tersebut kepada para warga. Tampak beberapa warga tak sabar ingin mencicipi masakan khas Papua itu.
"Ini kita suguhkan dan nanti makan bersama dengan warga," pungkas Haminus.
Kaki Gunung Merapi menjadi saksi bertemunya dua tradisi dan kebudayaan masyarakat yang berbeda. Namun atas nama sesama anak bangsa, perbedaan itu tak menjadi penghalang untuk keduanya saling bergandengan tangan, tersenyum dan bersaudara.
Ini membuktikan bahwa dari sabang sampai merauke adalah satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan lagi. Masyarakat Indonesia memang harus bersatu padu untuk membangun bangsa ini, dan di harapkan tak ada lagi konflik-konflik berkepanjangan seperti yang sering terjadi selama ini.
Sumber: kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar