Papua yang terletak di wilayah paling timur dari Indonesia, masuk menjadi bagian NKRI pada tanggal 19 Nopember 1969 melalui resolusi PBB No. 2504. Hal ini sekaligus menjadi pengakuan atas integrasi Papua ke Indonesia menurut hukum internasional. Selanjutnya, Papua menjadi daerah otonom yang sah bagi Indonesia pada tahun yang sama melalui UU No.12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Irian Barat dan kabupaten-kabupaten otonom di Propinsi Irian Barat. (Yan Pieter Rumbiak: 2005).
Pada era penjajahan, Belanda terkenal dengan politik devide et impera atau politik adu domba antara elit Pro Indonesia (Suku Serui) dengan Pro Papua (Suku Biak, Suku Tanah Merah) untuk memperkecil perlawanan terhadap Belanda. Sekalipun dalam hal ini tidak semua orang Biak itu pro Papua, tidak semua orang Serui itu pro Indonesia dan tidak semua orangnTanah Merah-Jayapura pro Indonesia dan Pro Belanda.
Pergerakan Belanda di Papua dilakukan dengan cermat. Dalam meningkatkan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Irian Barat/Papua atau sering disebut sebagai Politik Etik Gaya Baru. Termasuk di dalamnya usaha membentuk ”Nasionalisme Papua”. Cara ini menyebabkan orang-orang Papua tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah.
Sejarah Papua bagian Barat masuk NKRI walaupun “agak terlambat” diakui oleh dunia internasional, namun sebenarnya sejak awal adalah bagian penduduk yang mendiami wilayah Nusantara yang kemudian bergabung dan membentuk Indonesia. Pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1520), Kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca secara eksplisit menyebutkan wilayah Papua sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit.
Setelah kedatangan Bangsa Eropa pada 1660, sebuah perjanjian disepakati antara Tidore dan Ternate di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Timur Belanda yang menyatakan bahwa semua wilayah Papua berada di wilayah Kesultanan Tidore. Perjanjian ini menunjukan bahwa Pemerintah Belanda mengakui Papua sebagai bagian dari penduduk di Kepulauan Nusantara.
Pada masa perjuangan sebelum kemerdekaan didirikannya Boedi Oetomo tahun 1908, di mana hal tersebut didukung oleh pemuda-pemuda dari seluruh nusantara (Jong Aceh sampai Jong Papua)
Sebelum perang dunia II, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan Papua dan para penduduknya di bawah Provinsi Maluku dengan Ambon sebagai ibu kota pemerintahan. Menyatunya Papua dengan wilayah lain di Nusantra dipertegas dengan Peta Pemerintah Belanda tahun 1931 yang menunjukkan bahwa wilayah kolonial Belanda membentang dari Sumtra di sebelah Barat sampai Papua di sebelah Timur. Papua juga tidak pernah disebutkan terpisah dari Hindia Belanda. Fakta ini menunjukkan bahwa berdasarkan sejarah, Papua merupakan bagian dari bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara yang akhirnya membentuk NKRI.
Pada era perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Pemerintah Hindia Belanda berjanji akan memerdekakan Papua pada 1963. Perjanjian tersebut merupakan bentuk propaganda politik karena semakin meningkatnya tuntutan dunia internasional agar Belanda menaati hasil KMB 1949 yang telah disepakati serta New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962. Belanda berharap, dengan janji tersebut akan terjadi perpecahan di Masyarakat Papua, yang memang sudah terindikasi oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa masyarakat Papua akan memilih untuk bergabung dengan NKRI.
Inti New York Agreement adalah penyelesaian sengketa atas Papua diserahkan tidak langsung dari Belanda ke Indonesia melalui United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA). Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)/The Act of Free Choice merupakan pelaksanaan dari New York Agreement. Pepera dilaksanakan sesuai kondisi dan tingkat perkembangan masyarakat Papua/Irian pada saat itu tidak memungkinkan dilakukan dengan cara one man one vote karena sulitnya medan dan keprimitifan penduduk asli Papua. Menerapkan kondisi sekarang sebagai ukuran dalam menilai keadaan waktu Pepera, jelas tidak adil dan merupakan upaya memutarbalikan sejarah.
Proses pelaksanaan Pepera dilaksanakan pada 24 Juli hingga Agustus 1969 berlangsung secara musyawarah. Diikuti oleh 1026 Anggota Dewan Musyawarah Pepera mewakili penduduk Papua sebanyak 809.327 jiwa. Dilaksanakan di 8 Kabupaten yang ada saat itu, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura. Ke-1026 anggota DMP tersebut terdiri atas 400 orang mewakili Unsur Tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili Unsur Daerah dan 266 orang mewakili unsur Organisasi Politik/Ormas/golongan. Pepera dilakukan secara demokratis dan diawasi oleh masyarakat internasional serta berlangsung sesuai praktek-praktek internasional, di bawah nasihat, bantuan serta partisipasi PBB.
Hasil Pepera semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat/Papua merupakan bagian mutlak dari NKRI. Tentang bulatnya suara tentu menyangkut bagaimana diplomasi tim sukses RI dengan masyarakat Papua. Namun semua keputusan diserahkan kepada seluruh peserta rapat Pepera dan sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua, keyakinan dan dorongan hati nuraninya. Lebih penting lagi bahwa pelaksanaan Pepera saat itu sejak awal telah diberitahukan kepada PBB serta Belanda, dan pelaksanaannya selalu diikuti dari dekat oleh Pejabat PBB yang bertugas mengawasi.
Dapat dipahami bahwa pelaksanaan Pepera diterima oleh Sidang Majlis Umum PBB pada 19 November 1969 dengan catatan. Artinya bahwa masyarakat internasonal menerima hasil Pepera yang memutuskan bergabungnya Papua dengan NKRI. Pembatalan terhadap resolusi PBB adalah tidak mungkin, karena apa yang dihasilkan sudah merupakan penegasan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI, termasuk Irian Jaya/Papua di dalamnya. Karena itu, setiap upaya untuk memisahkan daerah tersebut dari NKRI merupakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku, termasuk terhadap Piagam PBB itu sendiri. Dalam prinsip tata kehidupan internasional, tidak satupun negara yang menyetujui gerakan separatisme. Dukungan dan persetujuan terhadap separatisme adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip dan tujuan PBB.
Adalah mustahil untuk meminta Pepera dibatalkan oleh Majelis Umum PBB. Selama ini PBB belum mengenal judicial review terhadap resolusi yang dikeluarkannya. Selain itu, PBB merupakan organisasi di mana anggotanya adalah negara, sehingga tidak mungkin sebuah gerakan (movement) atau LSM meminta peninjauan kembali atas putusan atau resolusi yang dikeluarkan oleh PBB.
Tuntutan pendaftaran permasalahan Papua ke Komisi Dekolonisasi PBB oleh OPM adalah tidak mungkin dan mengingkari Azas Dekolonisasi Internasional. Proses dekolonisasi dilakukan secara utuh dalam pengertian bahwa di atas sebuah daerah jajahan hanya didirikan sebuah negara berdaulat successor state, tidak dua atau lebih. Dengan demikian maka tuntutan OPM untuk pembentukan dan pendaftaran permasalahan Papua ke Komisi Dekolonisasi PBB sangat tidak relevan.
Sejak menjadi bagian dari NKRI, sebagian penduduk Papua kurang puas karena merasa termarjinalkan dan miskin. Padahal, secara geografis luasnya 4 kali luas Pulau Jawa serta memiliki kekayaan darat dan laut yang melimpah. Hal ini lah yang memunculkan semangat untuk memerdekakan diri atau tindakan separatisme.
Selain aspek ekonomis, separatisme di Papua dipicu juga oleh konflik yang berakar dari kekecewaan historis, pengesampingan sosial budaya, nasionalisme Papua, diskriminasi politik dan hukum yang tidak lepas dari provokasi asing yang mempunyai kepentingan di Indonesia.
Wilayah Indonesia yang strategis yang diapit oleh dua benua dan dua samudra membuat masyarakat dunia mengakui Indonesia sebagai persimpangan lintas pelayaran niaga utama(across the main commercial shipping line) dan mempunyai dimensi maritim yang strategis dan sekaligus menjadi ajang perebutan pengaruh sekaligus ancaman bagi negara-negara lain terutama negara tetangga.
Adanya konflik horizontal dan konflik vertical yang bernuansa separatis, seperti TPN/OPM, merupakan lahan subur bagi asing untuk menyelundupkan senjata ke wilayah konflik di Indonesia secara illegal.
Secara bilateral, Indonesia merupakan ancaman keamanan dari Utara bagi Australia, sesuai dengan buku putih pertahanan Australia tahun 1994. Papua dalam sudut pandang Australia memiliki nilai strategis sebagai buffer zone bagi pertahanan keamanannya. Oleh karena itu Australia merasa lebih aman,jika Papua menjadi merdeka dan berada dalam pengaruhnya untuk menjamin stabilitas pertahanan dan keamanannya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Papua lebih baik berada dalam pengaruh Australia, seperti halnya Timor Leste,. dari pada menjadi bagian NKRI yang sedang mengalami krisis politik.
Sebagai respon serius dari Pemerintah Pusat terhadap kesejahterann masyarakat Papua, pihaknya telah memberlakukan Program Otus, UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) dan upaya-upaya lain telah dilakukan untuk kesejahteraan Papua. Namun sebagian masyarakat Papua masih jauh dari sejahtera. Banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh elit politik dan pejabat lokal yang terorganisir turut menghambat perekonomian masyarakat Papua.
Perlu adanya kesadaran diri dari semua pihak untuk taat hukum/aturan dan mengesampingkan pemahaman nasionalisme sempit atau fanatisme kesukuan yang berlebihan demi kesejahteraan bersama. Perlu membangkitkan kembali semangat kebersamaan, gotong royong, saling berbagi, saling menjaga dan saling memaafkan bukan memanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongan dan tidak mudah diprovokasi oleh asing demi pembangunan yang berkelanjutan khususnya di Papua dan umunya di Indonesia secara keseluruhan. Sehingga kehidupan yang damai antar masyarakat yang satu dengan yang lain bisa tercapai seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. (AS)
sumber:http://www.menaranews.com/
0 komentar:
Posting Komentar